KRITIK
2
“Jangan terlalu dalam dengan perasaan mu sekarang ke dia,
kenyataannya sederhana, yang aku lihat kamu selalu bahagia, selalu asyik setiap
ketemu dia, tapi bagaimana dengan mimik muka dia? Datar aja, biasa aja. Yah,
dari situ sih udah kelihatan sih buat aku, kayak yang cinta banget itu cuma
kamu. Intinya, jangan terlalu dalem deh, nanti kamu yang sakit”
Lagi-lagi
setiap kritik yang ingin aku tulis bikin aku
tercengang. Bagaimana bisa ada kata-kata kritik itu? Hal yang mungkin sama
sekali tak disadari. Yup, itulah serunya tulisan tentang “kritik” ini. Lanjuut
. .
Memikirkan
tentang kritik 2 ini, agak sedikit banyak membingungkan.
Membingungkannya,
bagaimana bisa dalam atau tidaknya perasaan seseorang dinilai dari mimik wajah?
Hmm, mungkin generalisasinya sederhana, kalau memang seseorang itu memiliki
perasaan yang mendalam dia akan selalu bahagia dekat dengan orang yang ia
sayang. Bahkan dengan banggapun dia akan selalu memamerkan kebahagiaan bisa
memiliki yang terkasih dihadapan semua orang maupun dihadapan sang terkasih. Tapi,
bagaimana dong kalo itu sudah jadi
wataknya orang itu? Kan 3W seseorang beda-beda, Watak, Wahing (cara bersin), dan Watuk (cara batuk). Tapi kalo ada orang yang
berkata demikian, berarti “mata publik” yang melihat hubungan ini jadinya kayak
yang bahagia sebelah pihak dong? Atau
malah kelihatannya justru kelihatan cinta sebelah pihak saja? Lha ini ini
membingungkan yang aku maksud tadi.
Terlepas
dari hal-hal yang membingungkan ini, ada benernya
kalo seseorang bilang “jangan terlalu dalam naruh perasaan ke seseorang, nanti
jatuhnya sakit”. Yup, kalo yang satu ini ada benarnya, siapa yang kita sayang
saat ini belum tentu jodoh yang dititipkan Tuhan, bukan? Memang benar, tapi aku
sendiripun belum bisa melakukannya. (lho?).
yah, memang demikian. Ketika sudah jatuh hati kepada seseorang, rasa memiliki
secara mendalam dan selamanya akan selalu ada. Dan memang itu yang terasakan.
Masalah hati nggak akan ada yang bisa
memanipulasi.
Yah,
kita cukup menjalani perasaan yang hadir itu dengan bijaksana. Berharap dia
yang terkasih menjadi akhir dan selamanya ada disisi kita, boleh saja,
berharaplah kepada Sang Maha Kuasa, semoga memang itulah kisah yang terindah.
Karena jika kita terlalu beranggapan dia bisa jadi bukan jodoh kita, alhasil
apa yang dijalanipun menjadi serba hambar, tak bermakna. Layaknya sayur tanpa
garam. Yup, sekali lagi, jalani semua dengan bijaksana, tetap pada batasan yang
ada.
Masalah
mimik muka yang aku sebutin diatas, aku pikir itu kembali lagi ke karakter kita,
dan cara pandang kita. Kalau memang itu jadi pembenaran untuk pembaca, jangan
lantas ditelan mentah-mentah, bicarakan dengan baik apa yang memang terasakan
kepada sang terkasih, itu jauh lebih bijaksana dibandingkan menilai sebelah
mata. Nah, ambil positifnya saja yah, pembaca. Terima kasih mendalam untuk
kritik kedua J
Dee
(25/02/2014; 16.27)